Amal Ganesha Warganegara

My life at the moment: Football, sport development, journalism and brand

Buat Apa Berenang di Kolam yang Keruh?

FIFA-headquarters

Ketika induk organisasi sepak bola dunia, Fédération Internationale de Football Association (FIFA) diduga melakukan korupsi terkait proses bidding Piala Dunia 2018 dan 2022, sekonyong-konyong lima sponsor besar badan tertinggi sepak bola dunia itu menarik diri dan tidak memperpanjang kontrak kerjasama. Hal ini dianggap aneh, mengapa para mitra besar itu menolak bekerjasama lagi dengan FIFA? Padahal dugaan tersebut belum valid benar ketika diendus setahun yang lalu?

Emirates, Castrol, Johnson & Johnson, Sony, dan Continental secara serentak tidak melanjutkan kontrak partnership dalam waktu yang berdekatan dengan isu korupsi di tubuh FIFA. Meski begitu, alasan kelima mitra ini menarik diri dari FIFA sangat beragam, implisit, dan cenderung normatif. Emirates, sebagai donatur terbesar FIFA menyatakan bahwa ‘kerjasama ini (dengan FIFA) tidak sesuai harapan (lagi)’. Sony, sebagai penyumbang kedua terbesar menunjukkan sikap yang sama dengan menuntut FIFA untuk lebih transparan mengenai investigasi kasus yang menghebohkan dunia sepak bola setahun belakangan.

Presiden FIFA sejak 1998, Joseph S. Blatter mengundurkan diri baru-baru ini setelah adanya tekanan besar dari segala penjuru. Dunia sepak bola pun bereaksi, menganggap bahwa aksi tersebut sedikit berbau politis. Greg Dyke, Ketua PSSI-nya Inggris, dikutip Sky Sports berkata “Saya sedikit terkejut ia (Blatter) hanya bertahan (sebagai Presiden FIFA yang baru) selama empat hari. Ada sesuatu yang terjadi di sana, saya tidak lihat Blatter sebagai seorang yang memiliki karakter moral seperti itu.”

Agaknya komentar Dyke –sebagai salah satu yang paling vokal menentang Blatter– ada kaitannya dengan penangkapan tujuh pejabat FIFA oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) di Swiss pada 27 Mei 2015. Enam hari setelah penangkapan itu, Blatter yang selama ini sangat kuat di sepak bola akhirnya mengundurkan diri. Walaupun beberapa sumber mengatakan bahwa Blatter adalah seorang tactician yang sangat mahir –sehingga ada kemungkinan ia akan membatalkan pengunduran dirinya– tapi keterlibatan pemerintah Amerika Serikat melalui FBI dan pemerintah Swiss terbukti ampuh untuk menaklukkan rezim pria berusia 79 tahun itu.

Tekanan yang sangat besar dari seluruh pemangku kepentingan ternyata mampu meruntuhkan seseorang yang sudah kuat namun juga sudah melampaui batas. Korupsi yang merajalela sering menumbuhkan pergerakan komunal dalam jumlah besar untuk menghentikannya.

Uniknya, seperti dijelaskan di awal tulisan ini, para mitra strategis FIFA ‘ikut turun’ berkontribusi menjauhkan diri dari ‘kolam renang yang kotor’. Siapa yang mau berenang di kolam yang kotor?

Well, para ahli pemasaran di dunia paham bahwa menjadi mitra (partner) resmi sebuah organisasi berarti harus rela mengasosiasikan diri dengan organisasi tersebut. Sikap yang ditunjukkan para mitra dengan menarik diri dari FIFA adalah contoh betapa manajemen merek sangat sensitif dan harus memperhatikan aspek publisitas dengan sangat bijak. Siapa yang rela jadi dekil karena berenang di air keruh?

Persepsi buruk publik sepak bola terhadap FIFA saat ini sudah berada pada titik puncak. Penyelidik resmi FIFA, seorang pengacara asal Amerika Serikat, Michael J. Garcia, menunjukkan kekecewaan yang besar pada FIFA ketika federasi yang berbasis di Swiss itu menolak mempublikasikan temuannya terkait dugaan penyuapan atas proses bidding tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Sikap tersebut menimbulkan persepsi yang semakin negatif, karena bukannya terbuka, FIFA malah cenderung menutup-nutupi sesuatu yang ‘besar’, terlebih temuan tersebut datang dari sistem internalnya sendiri. Kecewa dengan sikap organisasinya, Garcia pun seketika mengundurkan diri dari pos Ketua Komite Etik FIFA.

Audience members react as Russia's Deputy Prime Minister Igor Shuvalov (R) holds the World Cup trophy after Russia was chosen to host the 2018 World Cup at the FIFA headquarters in Zurich on December 2, 2010. Russia was awarded the 2018 World Cup after an acrimonious bidding war marred by allegations of corruption and illegal deal-making. AFP PHOTO/KARIM JAAFAR (Photo credit should read KARIM JAAFAR/AFP/Getty Images)

Audience members react as Russia’s Deputy Prime Minister Igor Shuvalov (R) holds the World Cup trophy after Russia was chosen to host the 2018 World Cup at the FIFA headquarters in Zurich on December 2, 2010. Russia was awarded the 2018 World Cup after an acrimonious bidding war marred by allegations of corruption and illegal deal-making. AFP PHOTO/KARIM JAAFAR (Photo credit should read KARIM JAAFAR/AFP/Getty Images)

FIFA bukanlah asosiasi sepak bola pertama di dunia, karena asosiasi sepak bola pertama di dunia adalah The Football Association –PSSI-nya Inggris–, yang karena hal itu Inggris dianggap sebagai bangsa penemu sepak bola. Namun, FIFA merupakan asosiasi sepak bola pertama yang cakupannya bersifat internasional. Berawal dan diprakarsai oleh asosiasi-asosiasi sepak bola Belgia, Denmark, Perancis, Belanda, Spanyol, Swedia, dan Swiss pada 1904, FIFA kemudian menyelenggarakan Piala Dunia pertama pada 1930 di Uruguay. Dua tahun kemudian, dikarenakan Perang Dingin di Eropa, FIFA memutuskan untuk memindahkan kantor pusatnya ke tempat yang lebih netral, yaitu di Swiss, setelah sebelumnya berbasis di Perancis.

FIFA merupakan private government yang menguasai sepak bola di seluruh dunia. Organisasi ini pertama kali diketuai oleh seorang Perancis bernama Robert Guerin yang kala dilantik baru berusia 28 tahun. FIFA merupakan organisasi non-for-profit yang sangat sukses jika dilihat dari sudut pandang finansial, mampu meraup pemasukan sebesar 2 miliar dollar Amerika Serikat (26,7 triliun rupiah) sepanjang tahun 2014. Figur ini meningkat drastis dibanding tahun 2006 dan sebenarnya –dalam hal ini– Blatter patut diapresiasi. Setelah Piala Dunia Jerman 2006, FIFA hanya meraih pemasukan sebesar 749 juta dollar AS atau setara dengan 9,9 triliun rupiah.

FIFArev

Pemasukan terbesar FIFA adalah bersumber dari hak siar, dan kedua terbesar berasal dari unsur komersial, yaitu kemitraan. Dikutip Bloomberg, FIFA mampu meraih pendapatan sebesar 350 juta dollar AS per tahun yang berasal dari kontrak komersial dan kemitraan. Angka ini belum ditambah dengan hak pemasukan tiket pertandingan dari kompetisi-kompetisi yang digelarnya tiap tahun. Yang terbesar adalah tentu gelaran Piala Dunia. Kompetisi empat tahunan itu ditengarai berkontribusi sebanyak 85% dari total pemasukan FIFA selama 2011-2014 (FIFA Annual Report). Selanjutnya, selama periode 2011-2014 FIFA mendapat keuntungan sebanyak 338 juta dollar AS atau setara dengan 4,5 triliun rupiah.

Terlepas dari cakapnya kinerja secara finansial, kini, semakin banyak mitra strategis FIFA yang ‘menjauhkan diri’. Selain mitra di bidang komersial, Interpol –sebagai mitra yang ditunjuk untuk menjunjung tinggi integritas di sepak bola– dan Nobel Peace Centre –mitra di bidang sosial– juga sudah mengkonfirmasi untuk memutus kerjasama dengan FIFA. Kenyataan itu semakin memojokkan posisi Blatter dan kawan-kawan saat ini.

Sepak bola adalah olahraga paling populer sejagad, dengan figur mencapai 40% orang di dunia mengaku mencintai sepak bola. Keunggulan tersebut dijadikan argumen mengapa FIFA mampu mencapai kinerja finansial yang mumpuni walau korupsi di dalamnya sangat kental. Dengan tidak adanya pesaing signifikan di bidangnya, sudah tentu federasi tertinggi dunia ini mampu meraup pendapatan yang besar atas kapitalisasi sepak bola seantero bumi. Kekuatan besar FIFA juga mampu menskors asosiasi-asosiasi negara yang dianggap melanggar –seperti yang diterima PSSI saat ini– dengan dasar Statuta FIFA yang selalu diagungkan.

Namun, semuanya seakan menemui titik terang. Kekuasaan yang diduga penuh kecurangan itu sekarang sudah hampir menemui ajalnya. Reformasi keras didengungkan oleh negara-negara Barat yang memiliki kepentingan besar di sepak bola. Apa jadinya jika Piala Dunia tanpa Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, dan Spanyol?

Dari kasus tersebut di atas, kita dapat belajar, bahwa apapun –baik itu perorangan atau organisasi–, jika sudah keterlaluan melakukan tindak ‘kecurangan’ atau korupsi maka cepat atau lambat ia akan runtuh dengan sendirinya.

Lalu petikan pelajaran kedua adalah betapa pentingnya menjaga kredibilitas dan citra sebuah organisasi untuk memperoleh mitra-mitra strategis. Seperti sebuah teori yang bernama cheerleader effect, bahwa jika seseorang berdekatan/berasosiasi dengan seseorang yang keren, maka ia akan terbawa keren juga, walaupun sebenarnya tidak. Itulah sebenarnya bobot utama yang perlu disarikan dari konsep kemitraan (partnership). Dalam pemahaman yang lebih maju –seperti di Eropa dan Amerika– kemitraan bukan lagi sekedar mengharap exposure saja, tapi sudah memperhatikan aspek asosiasi merek (publisitas positif), yaitu ketika Anda membeli sebuah produk karena Anda anggap produk itu keren layaknya selebriti yang mendukungnya.

Paham mengenai kemitraan di olahraga juga perlu digali lebih dalam. Bermitra bukan melulu soal harga dan jumlah exposure. Jika ditelusur lebih jauh, konsep kemitraan adalah sama dengan menyandingkan diri dengan sesuatu yang keren yang dapat dipersepsikan dari berbagai macam aspek, salah duanya adalah eksklusifitas dan good governance organisasi tersebut, termasuk bagaimana publik menilai komitmen organisasi dalam menjunjung nilai integritas: Semakin keruh air kolam, semakin malas kita berenang di dalamnya.

Akhir kata, dikaitkan dengan kondisi sepak bola Tanah Air saat ini, semoga dengan adanya perbaikan tata kelola federasi sepak bola Indonesia –setelah belajar dari kasus FIFA– nanti tidak ada lagi calon mitra strategis yang bertanya dengan pertanyaan yang sama: Buat apa berenang di kolam yang keruh?

————————————————————————————————-

Tulisan ini dipublikasikan juga oleh Detik.com pada 17 Juni 2015:

http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2015/06/17/113636/2944664/425/buat-apa-berenang-di-kolam-yang-keruh

Leave a comment

Information

This entry was posted on June 18, 2015 by .