Amal Ganesha Warganegara

My life at the moment: Football, sport development, journalism and brand

‘Belandanisasi’ Sepakbola Modern

Image

Di dunia ini terdapat beberapa paham atau aliran-aliran di dalam segala aspek kehidupan. Di dunia theology, orang-orang sering menyebut dengan mahzab, di dunia ekonomi ada sosialis dan liberalis, di industri musik terdapat berbagai macam genre, di dunia kepemerintahan ada republik, demokrasi, atau kerajaan (monarchy), dan di sepakbola pun terjadi hal yang kurang lebih sama, yaitu terjadinya beberapa paham yang bervariasi baik dari segi bisnis maupun cara bermain di atas lapangan. Untuk kali ini, tulisan ini akan lebih membahas paham-paham ‘gaya bermain’ di atas lapangan hijau yang eksis di industri sepakbola.

Berbagai referensi menyebut bahwa sepakbola ditemukan oleh bangsa Cina, namun ‘dilegalisir’ oleh bangsa Inggris. Kompetisi dan aturan bermain sepakbola pertama kali ditemukan di negara Kate Middleton tersebut. Peraturan sepakbola pertama dibuat oleh seorang berkebangsaan Inggris bernama Ebenezer Cobb Morley pada tahun 1863. Dia menjabat sebagai sekretaris FA (Football Association) ketika itu, dan memformulasikan peraturan-peraturan prinsipil yang masih dipakai bahkan hingga saat ini. Andil besar Morley diabadikan di dalam sebuah musem di Inggris, berlokasi di Manchester, bernama National Football Stadium.

Yang menarik, seorang Roberto Carlos, mantan bek kiri ternama Brazil menyampaikan “Inggris boleh saja menemukan sepakbola, tapi kami lah (Brazil) yang menyempurnakan keindahannya”. Brazil merupakan negara kuat sepakbola dengan bakat dan talenta yang tiada habisnya. Lima kali menjuarai Piala Dunia adalah salah satu parameter yang dapat diandalkan. Gaya bermain Brazil yang menitikberat-kan kepada kemampuan per individu terkenal dengan sebutan “joga bonito”, masih terlestarikan hingga kini. Dengan kemampuan alamiah pemain-pemainnya, Brazil mampu mencipatakan eksistensi yang sangat kuat di sepakbola.

Namun, seiring perkembangan zaman, bangsa-bangsa lain satu per satu menciptakan ‘statement’ yang kuat di atas lapangan untuk menunjukkan gaya bermain mereka yang dianggap ‘paling benar’. Italia sangat terkenal dengan catenaccio-nya, Inggris terkenal dengan kick n’ rush, Jerman dengan power play-nya, dan Belanda dengan total football. Yang mana yang paling kuat? Atau, yang mana kah yang paling berpengaruh terhadap gaya bermain sepakbola modern? Semuanya bebas beropini, namun penulis berpendapat bahwa Belanda adalah yang paling memiliki akar yang kuat terhadap sisi teknis sepakbola modern.

Sudah sejak lama sekali Inggris mempertahankan gaya bermainnya, dan menganggap kick n’ rush adalah paham yang paling benar. Sudah sejak lama pula, Italia bersikap chauvinisme terhadap catenaccio. Dan sudah bukan rahasia lagi jika tim-tim Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina bermain bola dengan mengandalkan skill-skill individu yang luar biasa. ‘Penggocek ulung’ atau ‘flamboyant footballer’ sangat identik dengan pesepakbola-pesepakbola latin. Lain dengan Amerika latin, pesepakbola-pesepakbola di Eropa lebih menitikberatkan kepada hal teknis dan taktis. Frank De Boer mengaku, seumur hidupnya sebagai pemain sepakbola, ia tidak pernah berlatih trik-trik sepakbola tertentu. Ia tidak menyukainya, dan menganggap seorang pemain sepakbola hanya perlu menguasai teknik-teknik dasar saja, seperti mengoper, menerima bola, dan menendang, untuk dapat bermain dengan taktis dan efisien.

Taktikal di atas lapangan inilah yang menciptakan sepakbola era modern seperti sekarang. Gaya bermain operan pendek dari kaki ke kaki telah terbukti menjadi gaya main ‘yang paling benar’ untuk saat ini, jika dihubungkan dampaknya terhadap ball possession dan kemenangan. Walaupun ada pula pihak-pihak yang menganut anti total football, salah satunya adalah Michele Dalai, seorang jurnalis yang menulis buku berjudul “Against Tiki Taka”. Mungkin Dalai tidak menyadari bahwa sesungguhnya statistik menunjukkan bahwa mayoritas para juara di sepakbola menganut salah satu paham prinsipil dari total football, yaitu kuasai bola dengan sebanyak-banyaknya. Menguasai bola yang paling efektif saat ini adalah dengan menjadikan operan pendek menyusur tanah sebagai ‘gaya’ yang dominan. Uniknya, gaya main sepakbola modern yang sangat identik dengan total football ini diprakarsai oleh seorang pelatih Inggris pertama di Ajax Amsterdam, Vic Buckingham. “Bermain dengan umpan-umpan panjang terlalu beresiko”, ujarnya. Sayangnya, prinsip bermain seperti ini tidak diadopsi oleh pelatih-pelatih di Inggris, dan justru semakin berkembang di tanah Belanda.

Di tanah Inggris raya, terjadi transformasi gaya bermain yang cukup stagnan. Orang-orang Inggris terkenal dengan egonya yang cukup tinggi. Sebagai negara yang sangat maju, mereka merasa selalu benar. Dan ini pun terjadi di sepakbola. Harry Redknapp pernah berkomentar di BBC menanggapi performa timnas Inggris, “Kami (Inggris) tidak tahu bagaimana cara bermain sepakbola. Perubahan harus dilakukan secara menyeluruh dari level atas ke bawah. Di sepakbola level internasional, anda tidak bisa hanya melakukan shooting sekencang-kencangnya dan sebanyak-banyaknya, it’s all about possession, retaining the ball, controlling the game. Permasalahannya adalah Inggris tidak memiliki pola bermain yang jelas. Kita tidak memiliki pemain-pemain yang bermain dengan gaya yang sama, gaya yang ‘benar’, dan itu semua harus dilatih dari sejak usia yang sangat muda”. Kick n’ Rush setidaknya mereka anggap sebagai gaya bermain ‘yang benar’ sampai dengan tahun 2008, yaitu ketika FA menelurkan sebuah kurikulum baru di sepakbola, yang bertajuk “The Future Game”. Program ini diluncurkan oleh FA untuk membentuk keseragaman ‘gaya bermain’ di seluruh tanah sepakbola Inggris, dengan sasaran utama para pemain muda dari level grassroots sampai dengan profesional. Seperti yang telah dilakukan Belgia (menciptakan standarisasi ‘gaya bermain’), Inggris pun berharap dapat melakukan transformasi paham bermain di atas lapangan secara menyeluruh, dan menggapai prestasi yang diinginkan.

Lalu, diri ini pun tersenyum ketika membaca panduan modul The Future Game ala Inggris tersebut. Ternyata the Future Game sangat betul-betul berbau ‘Belandanisasi’. Semua aspek yang terkandung di dalam modul tersebut adalah pemahaman-pehamaman yang telah dilakukan oleh Belanda sejak dahulu melalui total football-nya dan beberapa negara lain yang dimulai sedari tahun 90’-an. Melihat nilai-nilai historis dan betapa megahnya industri sepakbola mereka, bisa dibilang Inggris dinilai ‘telat’ dalam menyadari pentingnya program ‘standarisasi gaya bermain sepakbola’ tersebut.

Di lain negara, seperti di Spanyol, transformasi sepakbola di negara matador tidak lepas dari peranan figur-figur seperti Johan Cruyff dan Rinus Michels. Johan Cruyff adalah pribadi yang terkenal rebellious, namun sangat cerdas. Dikisahkan, dimanapun ia berada, pasti ia akan menciptakan konflik yang bertensi tinggi. Di tahun 1988, Presiden Ajax Amsterdam, Ton Harmsen memutuskan untuk memberhentikan Cruyff, yang menjabat sebagai pelatih kepala ketika itu, karena konflik yang berkepanjangan diantara mereka. Setelah pemutusan hubungan kerja tersebut, Cruyff pun langsung dipinang FC Barcelona sebagai pelatih kepala. Sebagai konsekuensi dari tindakan Ton Harmsen tersebut adalah, bila ditarik garis regresi, menyebabkan Belanda gagal memenangkan Piala Dunia 2010 yang dikalahkan Spanyol di final dengan skor 1-0. Cruyff adalah orang yang menanamkan filosofi bermain Barca (menyempurnakan Rinus Michels), membangun fondasi Barcelona melalui La Masia, dan mengajari Pep Guardiola semua ilmu yang dia miliki. Ketika di tahun 2008-2010 Guardiola membuat Barcelona menjadi tim yang sangat tangguh, secara tidak langsung mempengaruhi skuad Spanyol di Piala Dunia 2010 dan ‘mempermudah’ pekerjaan Del Bosque. Hampir seluruh pemain Spanyol ketika melawan Belanda di final Piala Dunia 2010 adalah pemain Barcelona. Kekuatan pengaruh ‘Belandanisasi’ di Barcelona sangat lah kuat, dibuktikan dengan tradisi formasi 4-3-3 khas ala Belanda yang tidak pernah sedikitpun berubah. Ketika ‘murid’ mengalahkan ‘guru’-nya, itulah yang terjadi secara tidak langsung (regresi) ketika Spanyol mengalahkan Belanda di final Piala Dunia 2010.

Joe Jackson, seorang pelatih sepakbola berlisensi UEFA B yang bernaung di Birmingham County FA, menganalisis mengapa tim seperti Spanyol dan Barcelona jarang melakukan tackling-tackling keras dan bertenaga layaknya pemain-pemain Inggris. Ia berpendapat bahwa pemain-pemain Spanyol paham bagaimana bermain sepakbola yang benar. Mereka tahu harus bergerak kemana setelah melakukan operan, tahu harus bersikap seperti apa ketika lawan menguasai bola, dan pergerakkan posisi mereka selalu benar dan tepat waktu. Keterlambatan dan salah dalam melakukan pergerakkan-lah yang membuat pemain mau tidak mau harus melakukan tackling. Dan semua itu berbanding lurus dengan apa yang pernah dikatakan oleh Johan Cruyff: “when you are not late, you don’t have to chase the ball more”.

Di tanah Italia, terjadi pengaruh ‘Belandanisasi’ yang pun begitu kental. Italia terkenal dengan sepakbola pragmatisnya. Catenaccio dianggap sebagai paham suci yang harus dilestarikan. Hal itu bertahan terus-menerus sampai kemunculan seorang Arrigo Sacchi di AC Milan. Sebelum menjadi pelatih sepakbola, Sacchi hanyalah seorang pedagang sepatu, membantu bisnis keluarganya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sacchi selalu merasa sepakbola adalah passion yang sesungguhnya. Sacchi tidak pernah menjadi pemain sepakbola profesional, dan ini lah yang menstimuli quote terkenal yang keluar dari Sacchi ketika beberapa orang mempertanyakan kompetensinya sebagai pelatih: “I never realised that in order to become a jockey you have to have been a horse first… There’s no rule. The most important thing is having the desire to keep improving”. Bermulai dari melatih klub lokal di Italia, Sacchi pun berlabuh ke Parma. Silvio Berlusconi merekrut Sacchi untuk melatih AC Milan karena Parma asuhan Sacchi dua kali mengalahkan Milan ketika itu. Belakangan diketahui bahwa ternyata Sacchi adalah pengagum berat gaya sepakbola Belanda. Ketika membantu Ayahnya berbisnis sepatu menghadiri berbagai trade fairs di Belanda, Sacchi sering ‘mencuri-curi’ kesempatan untuk menonton training session dan pertandingan-pertandingan Ajax Amsterdam. Selanjutnya, AC Milan langsung melakukan pembelian trio asal Belanda atas dasar permintaan dari Sacchi, dan Berlusconi pun mendatangkan Frank Riijkard, Van Basten, dan Ruud Gullit sekaligus. Seketika, AC Milan memenangi berbagai kompetisi dan menjadi pembicaraan publik Italia. Sepakbola Italia pun mulai mengalami transformasi sejak kedatangan Sacchi. Dari sepakbola yang dominan pragmatis, menjadi bercampur dengan gaya sepakbola ‘indah’ penuh dengan suguhan umpan-umpan pendek dan taktik-taktik menyerang yang ‘enak ditonton’. Mario Sconcerti berpendapat bahwa Arrigo Sacchi telah berhasil menginspirasi pelatih-pelatih Italia dan merubah gaya dan pola bermain tim-tim di Italia hingga saat ini. Permainan zone marking yang sangat identik dengan Belanda berhasil diadopsi oleh Sacchi ke AC Milan, dan membawa hasil-hasil yang gemilang.

BarcaMilan

Tidak lama, setelah era Sacchi dan AC Milan, sang tetangga, Inter Milan berusaha untuk melakukan benchmark atas saudaranya tersebut. Inter Milan membeli trio Belanda Dennis Bergkamp, Aaron Winter, dan Wim Jonk guna meraih pencapaian yang sama dengan yang diraih AC Milan. Namun, ternyata hasilnya adalah nihil bagi Inter Milan. Pelatih-pelatih Inter di era tersebut gagal mengoptimalkan ‘Belandanisasi’ ke dalam klub.  Setelah dianalisis lebih dalam, ternyata pelatih-pelatih Inter di masa tersebut bukanlah seorang Belanda atau bukanlah seorang yang paham atas sepakbola Belanda, alhasil pembelian trio Belanda ini pun menjadi mubazir. Inter Milan melakukan investasi yang sia-sia dengan mengandalkan pemain-pemain Belanda tapi lupa dengan signifikansi peranan seorang pelatih.

Baru-baru ini terjadi fenomena yang sangat unik terkait dengan ‘Belandanisasi’ di Italia. AC Milan terlihat sedang ‘menapaki arah jalan yang sama’ dengan ketika mereka berjaya di era Sacchi dulu. Clarence Seedorf resmi ditunjuk sebagai pelatih kepala AC Milan yang baru. Uniknya, Seedorf belum memiliki lisensi kepelatihan UEFA Pro yang merupakan syarat untuk menukangi klub-klub level teratas di Eropa. Namun, FIGC (PSSI-nya Italia) memberikan dispensasi kepada AC Milan untuk memberi jangka waktu agar Seedorf dapat menyelesaikan pendidikan UEFA Pro Licence sambil menukangi AC Milan. Di pertandingan pertamanya melawan Hellas Verona, Seedorf membuat sebuah skema ‘Belandanisasi’ yang sangat brilian. Permainan yang indah, Ricardo Kaka yang ‘hidup kembali’, optimalisasi Nigel De Jong, dan high defensive-line pressure ala Belanda menjadi topik suguhan yang menarik. Sistem double-pivot yang selalu sejajar antara Montolivo dan De Jong membuat Verona bermain di daerah pertahanannya sendiri. Alhasil, Milan pun menang dengan skor 1-0. Memang belum saatnya untuk memuja-muja Seedorf, namun dari representasi pertandingan tersebut, diri ini menilai bahwa Seedorf memiliki tactical intelligence yang cukup baik. Para Milanisti tentu akan antusias menunggu bagaimana kiprah sang legenda dalam melakoni peran barunya tersebut.

Dari segi kepelatihan, pelatih-pelatih asal Belanda juga terkenal memiliki pemahaman teknis dan taktikal yang baik. Rene Meulensteen dikenal sebagai pelatih yang berjasa mengembangkan kemampuan finishing Cristiano Ronaldo sewaktu di Manchester United, dan begitupula dengan Robin Van Persie. Johan Cruyff, Rinus Michels, Guus Hiddink, Frank Riijkard, Frank De Boer, Van Marwijk, Martin Jol, dan Van Gaal adalah nama-nama yang memiliki reputasi yang cemerlang sebagai pelatih. Baru-baru ini Arsenal dikabarkan merekrut Andries Jonker sebagai direktur akademi klub London utara tersebut. Berjasa dalam membangun sistem pembinaan pemain muda di Belanda, Arsenal langsung menjadikan Jonker sebagai prioritas utama untuk menggantikan Liam Brady yang akan pensiun sebagai direktur akademi Arsenal.

Sepakbola Belanda sangat dikagumi dan banyak diadopsi oleh dunia sepakbola internasional. Kegemilangan reputasi La Masia sebagai contoh pembinaan usia muda yang ideal ternyata adalah hasil dari bencmarking terhadap Ajax Amsterdam melalui median Johan Cruyff. Sistem tata kelola pemain-pemain di level muda yang diterapkan oleh Ajax Amsterdam dan Barcelona kemudian menjamur di tanah-tanah Inggris dipelopori oleh Arsenal dan Manchester United, dan saat ini sudah mulai diterapkan secara intensif oleh tim-tim sugar daddy seperti Manchester City dan Chelsea. Bahkan seorang Thierry Henry pun mengaku bahwa dirinya dan semua pemain di timnas Perancis, termasuk Zidane, sangat nervous menunggu hasil semifinal Brazil vs Belanda pada semifinal Piala Dunia 1998. Pemain dan official di timnas Perancis ketika itu lebih memilih bertemu Brazil ‘ketimbang’ Belanda. Henry berpendapat bahwa Belanda merupakan tim yang sangat mengerikan, berisikan pemain-pemain yang kuat, cepat, dan paham bagaimana memainkan sepakbola. “Siapapun pasti takut bertemu Belanda di atas lapangan sepakbola”, ujar Henry. Kejadian serupa terulang ketika Perancis lagi-lagi ‘bersyukur’ untuk tidak bertemu Belanda di final Euro 2000. Thierry Henry masih tidak percaya sampai dengan saat ini mengapa Belanda belum pernah memenangi major trophy di level senior, kecuali Piala Eropa 1988, mengingat betapa superiornya performa mereka di atas lapangan. Belanda memang belum pernah menjuarai Piala Dunia, tetapi sistem dan gaya bermain mereka telah diadopsi oleh para juara di sepakbola.

(Coventry, 22 Januari 2014/ Amal Ganesha Warganegara)

Tulisan ini dimuat juga di detiksport pada tgl 4 Feb 2014: http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2014/02/04/114702/2486511/1482/belandanisasi-sepakbola-modern

Leave a comment

Information

This entry was posted on March 3, 2014 by .